Wednesday, April 18, 2007

Setiap bayangan tentangnya masuk ke kepalaku, setiap bayangan tentang dirimu bersama dirinya menghantuiku, setiap rasa sakit itu kembali menderaku, setiap ketakutan, kekawatiran, ketidak-amanan, kesedihan, rasa ketidak-adilan. Semua rasa yang selama ini terus datang padaku.

Yang bisa kulakukan hanyalah mengingatkan diriku sendiri. "Semua sudah berakhir, Penny. Semuanya akan baik2 saja. Kau tidak akan sakit lagi. Hanya sekali. Luka terbesar, lalu kau akan terbiasa. Dan kau akan baik2 saja. Semuanya sudah selesai. Semua sudah selesai."

Bahkan semua kebahagiaan yang selama ini kudapat darimu. Semua rencana, semua harapan, semua keinginan. Semua bayangan... Semua itupun harus hilang dariku.

Dan aku tetap mengingatkan diriku sendiri. "Semua memang harus berakhir. Semua rencana, semua bayangan, semua keinginan, semua harapan itu tak akan pernah jadi kenyataan, Penny. Semua itu bukan milikmu. Lupakanlah... Mungkin akan sakit, tapi hanya sekali luka yang dalam, kemudian kau akan terbiasa. Semua luka akan sembuh, Penny. Kau akan baik2 saja. Semuanya sudah selesai. Sudah selesai. Jadi, lupakanlah..."

Dan aku mencoba melupakan semuanya....

Friday, March 23, 2007

My baby preciosa,

I'm writing you a letter, because i know there are moments when words aren't really refflecting my feelings.

Aku sedang mendengarkan lagu naff - track 12. Aku lupa apa judulnya. Ya, CD yang kupinjam darimu. CD milik keponakanmu. Aku berjanji akan mengembalikannya nanti begitu ada kesempatan untuk kita bertemu.

Hari ini terasa begitu panjang. Mungkin aku hanya tidak terbiasa dengan keadaan di mana aku sama sekali tidak bisa mendengar suaramu dari ujung telepon genggamku. Terlebih beberapa minggu belakangan ini. Hampir tak pernah absen suaramu menemani setiap hariku. I would like to call it "the best part of my day". :)

Entah sejak kapan aku mulai merasakan perubahan dari perlakuanmu padaku. Kamu mulai lebih perhatian padaku. Kamu mulai perduli. Mulai mengkhawatirkanku. Siapa yang menemaniku pulang saat hari sudah malam. Menyindir setiap kali aku pulang malam dari kemang, atau mana saja. Memaksa untuk menjemput dan mengantarku pulang saat hujan mengguyur Jakarta dengan begitu lebatnya, dan ojek langgananku tertahan banjir di daerah Kebon Nanas sementara aku menunggu di depan pintu kantorku sampai pukul 8.30 malam tanpa pulsa sedikitpun. Langsung meneleponku begitu mengetahui bahwa ada yang salah dengan perutku. Datang jauh-jauh dari rumahmu ke tempat kosku, dengan membawa helm pink sebagai suap agar aku mau kamu bawa ke dokter. Helm pink yang kamu janjikan. Mengantarku mencari bubur, dengan begitu banyak pantangan makanan yang kamu berikan padaku. Pantangan-pantangan yang membuatku berkata, "kayanya kamu lebih pinter dari dokternya deh. Dokter nggak bilang aku nggak boleh makan sate usus kok." Dan dengan cengiranmu yang menyebalkan itu kamu menjawab, "Yah, kita kan nggak pernah tahu gimana mereka membersihkan ususnya." Mengkhawatirkan apakah aku kedinginan, apakah tanganku kedinginan, memintaku untuk memasukan tanganku ke dalam saku jaketmu agar dapat berbagi kehangatan tubuhmu. Menemaniku semalaman, hanya karena aku merasa ingin ditemani. Membawaku nonton film, dan menyediakan bahumu untukku menyandarkan kepala sepanjang film.

Semuanya begitu indah. Mungkin kamu tidak bisa membayangkan betapa kamu sudah membuatku sangat bahagia. Dan oleh karenanya, mungkin kamupun tak mengerti betapa beratnya untukku melakukan ini. Tapi bagaimanapun aku harus melakukannya. Sebelum semua ini jadi lebih menyakitiku.

My Baby Preciosa,

Aku harus melakukannya sekarang, atau aku akan menyesal nantinya. Kamu akan menyesal nantinya. Salah satu dari kita akan tersakiti. Atau mungkin kita berdua akan tersakiti. Sekarang, hanyalah bagaimana agar rasa sakit itu tidak terlalu berat kita rasakan.

My Baby Preciosa,

Berada jauh darimu menyakitiku. Berada di dekatmupun menyakitiku. Maka lebih baik aku pergi. Semua hal indah di atas, menyakitiku. Karena tidak ada cinta di sana. Maka biarkan aku pergi. Biarkan aku menjalani apa yang harus kujalani. Dan kamu menjalani apa yang harus kamu jalani. Lepaskan aku...


My Baby Preciosa,

Mungkin aku hanyalah sebuah "akar" untukmu. Akar yang tak akan kamu lepaskan sampai kamu menemukan "rotan"mu. Tapi aku tak mau jadi akar. Paling tidak aku tidak ingin kamu lepaskan saat kamu sudah menemukan "rotan"mu. Maka lepaskanlah aku. Beberapa bulan yang lalu, aku harus bersaing dengan "rotan" yang tak bisa kamu miliki. Dan sekarang, aku masih juga bersaing dengan "rotan" lain lagi. Harus berapa "rotan" lagi yang harus kuhadapi, my Little Devil? Rotan-rotan itu menyakitiku, my dear. Dan kenyataan bahwa aku tidak pernah begitu berharga bagimu. Mungkin tidak akan pernah. Itupun menyakitiku. Maka, biarkan aku pergi. Kamu tidak mencintaiku.

My Baby Preciosa,

Aku tidak pernah bisa mengerti. Sudah cukup lama kita menjalani semua ini. Liburan sudah waktunya diakhiri. Mungkin aku memang bukanlah orang paling sabar di dunia. Mungkin aku memang berbeda dengan perempuan mantanmu itu. Aku adalah aku. Dan aku mungkin tidak pernah cukup layak untukmu. Oleh karena itu, bagaimanpun kamu mencoba, kamu tidak pernah bisa mencintaiku.

Aku teringat pada Bandung seminggu yang lalu. Pertama kali kita liburan bersama. Kamu pasti bisa melihat betapa bersinarnya wajahku karena bahagia. Tapi apakah kamu tahu betapa sakitnya aku saat kamu menerima telpon darinya di mobil? Betapa sedihnya aku saat kamu keluar kamar hotel, dan menelponnya di lobby hotel? Saat kamu menerima telponnya ketika kita sedang melepas lelah di depan sebuah factory outlet? Kamu nggak tahu. Bahkan saat bersamakupun kamu memikirkannya. Saat bersamakupun kamu merasa harus membuat kontak dengannya. Jadi mengapa tidak kamu biarkan saja aku pergi? Karena aku tidak bisa membuatmu memilih. Maka biarkan aku sendiri yang memilih. Biarkan aku membantumu untuk memilih. Karena pada akhirnya kamu harus memilih. Karena aku tidak mau menjalani seperti apa yang sedang kita jalani ini selamanya. Bahkan keberadaanku secara fisikpun tidak cukup untukmu.

Dan itu menyakitkan...

Perasaan tidak aman ini perlahan membunuhku. Saat kamu tidak menerima telponku, aku akan segera berpikir bahwa kamu sedang bersamanya. Ketidak berdayaan ini membuatku ingin menyerah. Dan aku menyerah.

Ingat perjalanan kita ke tangerang? Saat aku merokok di mobilmu? Kurasa kamu tahu mengapa waktu itu aku begitu judes padamu. Kamu "muach-muach" di telpon dengannya?! KAMU BAHKAN TIDAK PERNAH MUACH-MUACH PADAKU. Padahal akulah yang kamu tiduri!

Hahahaha... betapa kekanak-kanakannya aku.

Terakhir kali kita bertemu kamu terus mengulang katap-kata "Kami bahkan tidak tidur bersama. Kami jarang bertemu. Kalaupun bertemu, paling hanya makan dan ngobrol. Itu saja. Padahal aku lebih sering ketemu kamu. Aku bahkan tidur denganmu!" Dan kamu pikir itu membuatku merasa lebih baik? I feel like shit! That's what i feel. Walaupun kalian tidak tidur bersama, intensitas pertemuan yang tidak seberapa, tapi tetap saja itu semua cukup berharga untuk mempertaruhkan apa yang kita miliki. Oh ya, aku lupa. Kita tak memiliki apa-apa.

My Baby Preciosa,

Mungkin memang dialah yang bisa membuatmu bahagia. Maka biar dia yang membuatmu bahagia. Aku sudah mencoba. Tapi mungkin memang tidak cukup. Jadi biarkan aku menyerah. Karena aku sudah lelah berjuang. Lelah mencoba. Masaku sudah habis. Maka lepaskanlah aku.

Lepaskan aku, atau mulailah berpikir... Mengapa kamu tidak pernah bisa melepasku?

Kamu bilang kalau kamu sayang padaku. Kamu perduli padaku. Kamu mengkhawatirkanku. Tapi kamu tidak mencintaiku. Tapi mengapa tidak biarkan saja aku pergi? Benarkah kamu tidak mencintaiku?

Atau sebegitu egoisnyakah dirimu? Tidak perdulikah kamu, bahwa kamu menyakitiku?

My Baby Preciosa,

Begitu banyak kata-kata yang sudah kutuliskan. Tapi aku tak akan berhenti untuk memohon. Biarkan aku pergi...

Atau kalau kamu memang tidak ingin aku pergi, maka berikanlah alasan aku untuk tetap tinggal. Berikanlah apa yang kuinginkan darimu.

Aku hanya ingin dicintai....

Aku tahu, my Little Devil, bahwa cinta tak bisa dipaksakan.
Maka aku akan pergi.


Ps : Janji kita, aku tetap akan menunggu di sana. Dan aku benar-benar berharap kamu akan datang. Tapi kalau memang pada akhirnya kamu tidak bisa membawa apa yang kuinginkan, maka aku sekali lagi memohon agar kamu tidak datang. Sehingga aku mengerti dan benar-benar bisa melangkah pergi. Aku tahu kamu tidak seegois itu. Karena apapun yang kamu tawarkan, tak akan pernah cukup untukku, my dear.

Sunday, February 25, 2007

Sudah hampir dua jam aku duduk di depan jendela kamar kosku. Memandang keluar jendela tanpa benar-benar melihat apapun. Hujan yang tadi turun dengan derasnya sudah sempat berhenti dan berganti dengan gerimis kecil-kecil. Bukan suasana yang menyenangkan. Aku merapatkan pashmina yang sedari tadi menyelimuti bagian atas tubuhku. Matahari yang sedari tadi tertutup awanpun sekarang sudah mulai menghilang di peraduan. Langit mulai gelap. Dan lampu-lampu kota di kejauhan satu persatu mulai menyala.

Aku melirik jam dinding di atas meja komputerku. Sudah pukul enam lewat lima belas menit. Kembali aku melemparkan pandanganku ke arah lampu kota yang terlihat bagaikan lautan berlian berwarna-warni. Satu-satunya alasan mengapa aku memilih tempat ini menjadi tempat tinggalku. Pemandangan seperti ini selalu bisa membuatku tenang walaupun sedikit terasing.

Aku menyesap kopi yang sudah mulai dingin, kemudian menyalakan rokok. Menghisapnya lambat-lambat seakan ingin menikmati setiap miligram nikotin yang masuk ke paru-paruku. Sayup-sayup terdengar Babyface mendendangkan The Loneliness-nya dari winamp playerku.

So tell me how you feel, im lonely
Are you for real, so lonely
Do you still think of me, i think of you
Baby still, You only
Do you dream of me at night
Just like i dream you all the time
Sooo, ooh ooh ooh ooh
oh let me tell you how it feels, its like everyday i die
Wish i was dreaming but its real, when i open up my eyes
oh Let me tell you how it feels, and don't see your pretty face
I think that i will never love again...


Kembali terngiang suara Misha di telingaku.
"Lo gila ya? Lo main api, Penny! Lo bisa kebakar!"
Aku hanya tersenyum waktu itu. "Ayolah, Sha. Apa sih hal paling buruk yang bakal terjadi sama diri gue?" aku menjawab kemudian.
"You could get hurt, Penny!" serunya ngotot.
Aku kembali tersenyum. Meremehkan.
"HTS, TTM, HTI, apapun namanya, nggak akan pernah jadi ide yang bagus menurut gue. Semua itu akan berakhir dengan seseorang tersakiti. And you're my best friend, for God's sake! Gue nggak mau kalo sampe elo yang tersakiti," lanjutnya lagi.
"Gue udah gede, Sha. Gue bisa jaga diri gue sendiri. Lagipula gue sama Domy cuman temenan kok. Sama kayak dulu. Cuma bedanya sekarang kita tidur bareng. Bukan masalah besar," aku berusaha meyakinkan Misha.

Dominic, biasa dipanggil Domy. Awal perkenalanku dengannya terjadi beberapa waktu yang lalu. Diperkenalkan oleh Ambar, salah satu sahabatku yang lain. Dari situ kami mulai sering saling bertelpon, bertukar kabar dan cerita. Sampai sekitar lima bulan yang lalu, kami akhirnya mulai sering bertemu. Makan siang bersama, makan malam atau sekedar nonton film. Kebetulan film kegemaran kami tidak jauh berbeda. Kami sama-sama menyukai film yang berakhir tragis. Lebih realistis menurut kami.

Hubungan kami semakin dekat layaknya dua orang sahabat baik. Aku banyak menceritakan masalah-masalah yang sedang kuhadapi, begitupun Domy. Mulai masalah di kantor, ataupun masalah pribadi. Buatku Domy adalah seorang pendengar yang baik, sekaligus pemberi saran yang jitu. Mungkin karena jalan pikirannya yang logis dan realistis. Hampir sama dengan jalan pikiranku sendiri. Dan sejak saat itu, kami seperti tak terpisahkan. Di mana ada aku, di situ ada Domy.

Banyak di antara teman kami yang mengira ada hubungan spesial antara aku dan Domy. Tapi kami selalu menampiknya dan mengatakan bahwa kami tak lebih dari sepasang teman baik yang menemukan banyak kecocokan satu sama lain.

Kejadian itu terjadi dua bulan kemudian. Kami berdua sedang duduk di atap rumah kosku. Memandangi lampu-lampu kota yang bagaikan hamparan mutiara. Aku menikmati berbatang-batang rokok sementara Domy hanya menikmati secangkir teh tarik panas yang semakin lama semakin dingin diterpa udara Bandung yang semakin malam semakin membuat tubuh menggigil. Ia bercerita tentang seorang wanita yang sudah enam bulan ini dekat dengannya. Betapa ia jatuh hati pada perempuan ini, tapi ternyata cintanya tak terbalas. Perempuan—yang seorang model—itu justru jatuh cinta pada fotografernya sendiri, yang hanya menginginkan tubuhnya untuk ditiduri.
"Nggak rela aja gue. Gue tuh bener-bener sayang sama dia. Bener-bener care. Tapi dia malah menyerahkan hatinya ke cowok yang cuma mau nidurin dia," ujarnya lemah sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. Tampak kelelahan.

Aku diam tak tahu harus menjawab apa. Hanya sesekali tanganku membelai rambutnya. Berusaha membuatnya lebih tenang. Tidak pernah aku melihat seorang Domy, yang selalu penuh gairah, yang selalu berpikir positif, tampak begitu tak berdaya bagaikan seekor anak anjing yang kehilangan induknya. Menggemaskan sekaligus mengundang belas kasihan.

Entah karena cuaca yang begitu dingin malam itu, atau karena kami yang terlalu larut dalam suasana yang sunyi karena hampir seluruh penghuni kosku pulang ke kota mereka masing-masing, akhirnya terjadilah hal itu. Aku terus membelai dan mengusap kepala Domy, sampai akhirnya dia mengangkat wajahnya dan memandang jauh ke dalam mataku. Kemudian Domy mulai menyentuh pipiku, mengusapnya lembut dan menarik kepalaku mendekat ke arahnya. Aku hanya bisa diam mendapati wajah kami yang hanya berjarak beberapa senti, memejamkan mata menikmati aroma nafasnya yang menyegarkan. Kemudian aku merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Begitu lembut, hangat, begitu manis. Perlahan tangan Domy mulai melingkari tubuhku, memelukku erat. Mengusap punggungku, rambutku, pipiku. Sementara bibir kami masih bertaut. Lembut di awal kemudian semakin intens, semakin panas. Akhirnya terjadilah hal itu. Di sana. Di atas atap rumah kosku. Di bawah langit tanpa bintang dengan ribuan lampu kota sebagai saksi. Petama kali kami bercinta dengan begitu lembut sekaligus begitu panas.

Setelah itu kami jadi semakin dekat. Pertemuan yang lebih sering, telpon-telpon di sela-sela jam makan siang, sms-sms yang tak ada hentinya. Pembicaraan-pembicaraan setelah bercinta yang hangat. Saling melempar lelucon sambil berpelukkan. Tapi hanya sampai di situ. Tidak pernah ada pembicaraan tentang status. Dan aku menerima bahwa ini hanyalah sebuah hubungan tanpa status. Seperti lagu dari duo Ratu, TTM, Teman Tapi Mesra. Tapi ini semua membuatku bahagia. Membuatku mempunyai alasan untuk bangun pagi dan pergi ke kantor, karena aku tahu di saat jam makan siang nanti aku akan bertemu Domy. Membuat hidupku lebih berwarna, karena ada seseorang yang bisa kupikirkan.

Suatu malam, tepatnya sebulan yang lalu, kami duduk di dalam mobil Domy yang terparkir di depan rumah kosku. Setelah mematikan mesin, Domy meraih tanganku dan menggenggamnya. Sementara tangan satu lagi memegang pipiku.
"Kamu adalah perempuan paling menarik yang pernah kukenal, Penny. Dan aku sayang sama kamu. Kamu tahu ‘kan?" tanyanya sambil menatapku lekat-lekat.
Aku hanya mengangguk tanpa berani bertanya tentang kejelasan hubungan kami. Merasa ini semua sudah cukup. Aku sayang padanya, dan dia sayang padaku. Sebuah status bukanlah hal yang penting. Toh, kami sudah sama-sama dewasa. Tidak perlu lagi ada pernyataan cinta seperti anak SMU yang baru mulai belajar pacaran.

Hari-hari setelahnya kulewati bagaikan di awang-awang. Bangun pagi, memikirkannya. Perjalanan ke kantor, memikirkannya. Di sela-sela pekerjaanku yang menumpuk, memikirkannya. Hampir setiap waktu memikirkannya. Hanya di waktu ketika kami sedang bersama saja aku bisa berhenti memikirkan dirinya.

Aku bagaikan menemukan sisi yang baru dari seorang Domy. Penuh perhatian dan sangat pengertian. Dia bahkan tidak pernah mengeluh karena lama menungguku berdandan setiap kami akan pergi keluar.
"Ah, Cewek. Dandan lama itu udah biasa," jawabnya sambil tersenyum penuh pengertian setiap kutanya mengapa dia tak pernah keberatan menungguku memulas wajah selama setengah jam.

Domy selalu membuatku merasa aman dan terlindungi. Aku suka dengan perasaan ini. Setelah sekian lama sendiri, aku mulai lupa bagaimana rasanya memiliki seseorang yang perduli padaku. Perduli di mana aku berada, apa yang kulakukan, dengan siapa aku pulang jika waktu sudah beranjak malam. Seorang lelaki yang selalu berjalan di sisi kananku, menjaga agar aku tidak berjalan terlalu ke tengah.
"Dom, aku tuh kalau jalan suka miring-miring. Nggak lurus. Jadi kalau kamu jalan di sebelah kananku, akhirnya nanti kamu bakalan jalan di tengah jalan. Bahaya tau," kataku suatu saat ketika kami berjalan dari kosku menuju warung makan.
"Justru karena itulah aku harus jalan di sebelah kanan kamu. Buat ngejaga supaya jalan kamu nggak miring-miring," jawabnya sambil menggamit pinggangku.

Setiap detik yang kulewati dengannya terasa begitu berarti. Kalau aku boleh meminta satu permintaan saja, aku akan meminta agar waktu berhenti berputar ketika kami sedang saling memeluk, menularkan kehangatan tubuh masing-masing, mencoba melawan dinginnya udara pagi. Dan ketika sudah waktunya untuk kami berpisah, aku setengah mati mencari alasan agar dia tak pergi.
"Kenapa kamu nggak berangkat ke kantor dari sini aja sih? Toh besok pagi kamu juga pasti ngejemput aku dulu," kataku suatu malam sambil menggeser tubuhku merapat ke arahnya. Memainkan jari-jariku di atas perutnya yang mulai menggendut karena sudah beberapa bulan ini tidak menyambangi pusat kebugaran, kemudian bergerak dan menciuminya dengan manja.
Domy mengerang perlahan dan memainkan rambutku dengan jari-jarinya.
"Aku kan nggak bawa baju ngantor, Penny."
"Ugghh... aku nggak pengen kamu pulang," jawabku sambil menyusrukkan kepalaku ke lehernya. "Gimana kalau sekarang aja kita ke rumah kamu, ngambil baju, terus kita balik ke sini, aku bikinin kamu coklat panas, terus kamu boleh bikin yang "panas-panas" buat aku, di sini, di atas ranjang ini," kataku dengan suara menggoda, menggesek-gesekkan kakiku ke kakinya.
Domy tertawa perlahan kemudian membelai pipiku.
"Nggak bisa, Penny. Kamu tahu kan, orang rumah bisa ngomel-ngomel sama aku. Lagian selama weekend ini kan kita udah bareng terus. Masa nggak cukup sih?"
"Nggak! Nggak pernah cukup!" seruku memberengut.
Domy tersenyum. "Ayolah, toh besok kita ketemu lagi. Aku jemput kamu ngantor, terus siangnya kita bisa makan bareng."
Akhirnya dengan terpaksa aku melepasnya pergi.

Mungkinkah aku jatuh cinta? Atau pertanyaannya adalah: Mungkinkah dia jatuh cinta?
Ada saatnya aku menemukan pandangan Domy kosong ke satu titik. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ada saatnya aku merasa Domy tidak benar-benar sedang berada di sana bersamaku. Tubuhnya ada di sebelah kananku, memegang setir mobil, mengendalikannya dengan sangat mahir. Tapi pikirannya, jiwanya, entah ada di mana. Tapi aku selalu berpikir bahwa mungkin dia sedang memikirkan pekerjaannya. Atau salah satu klien besarnya sedang bermasalah. Beberapa kali aku harus mengulang perkataanku sebelum akhirnya Domy jadi kembali terfokus padaku. Tapi aku tak keberatan. Selama dia tetap ada di sana, bersamaku.

Aku kembali menyesap kopiku. Membakar rokokku entah batang yang keberapa. Mataku masih terpaku pada hamparan lampu kota. Kemudian pandanganku semakin lama semakin buram tertutup oleh air yang mulai membasahi mataku. Pelahan air itu mulai turun membasahi pipiku. Semakin lama semakin deras. Dan tubuhku mulai terguncang. Aku tak bisa menahannya. Sekuat apapun aku mencoba.

Hari ini adalah ulang tahun Domy. Aku ingin memberinya hadiah kejutan. Karenanya kemarin sepulang kerja aku langsung menuju ke sebuah pusat perbelanjaan tak jauh dari kantorku. Sebelumnya aku sempat menelepon Domy untuk bertanya apakah dia akan menjemputku seperti kebiasaannya selama sebulan terakhir.
"Aku kayanya nggak bisa jemput kamu deh. Aku harus ke tempat klien. Ada troubleshooting yang harus aku beresin. Klien besar nih," jawab Domy. "Tapi kamu langsung pulang, kan? Jangan sampai kemalaman lho," lanjutnya lagi.
"Iya, aku langsung pulang," jawabku berbohong, tak ingin merusak kejutan yang sedang kurencanakan.

Sesampai di pusat perbelanjaan itu, aku langsung menuju ke sebuah toko buku yang menjadi langgananku. Bukan benar-benar toko buku. Lebih ke seperti butik buku, sesuai dengan namanya "Booktique". Buku-buku yang dijual di butik buku itu kebanyakan tidak dijual di toko buku besar. Bahkan kadang, kalau cukup beruntung, kita bisa menemukan buku-buku cetakan pertama yang sudah sangat jarang ada di pasaran.

Memasuki butik buku itu, aku langsung disambut oleh bunyi denting lonceng dan sapaan selamat sore dari Joe, pemilik butik buku itu sendiri.
"Penny!" seru Joe begitu melihatku. "Nyari apa nih hari ini?"
"Gue pernah ngeliat Justine-nya Marquis de Sade. Masih ada Joe? Buat kado."
"Wah, pasti untuk someone special."
"How do you know?"
"Justine? Marquis de Sade? Hanya orang-orang dengan selera yang sangat freak yang mau baca buku itu. Dan orang yang sangat freak adalah orang-orang yang special buat lo, pastinya," jawabnya sok tahu sambil membalikkan badan menuju ke salah satu rak dibelakang, yang sepertinya sedikit tersembunyi tertutup kaca hingga mencegah debu masuk, dan menarik salah satu buku bersampul kulit berwarna coklat. "Dan yang lebih special lagi, gue punya special edition-nya."
Joe mengangsurkan buku itu padaku. Aku mengelus permukaannya. Kulit yang halus. Membuka setiap beberapa lembaran pertamanya. Membaca beberapa kalimat yang pernah kubaca beberapa waktu yang lalu.
"Mau dibungkus?" tanya Joe mengagetkanku.
"Yap. Thanks."

Keluar dari butik buku itu, aku berjalan ke arah coffee shop terdekat. Berniat mendapatkan sedikit kesenangan buat diriku sendiri. Secangkir caramel latte hangat dan sepotong cheesecake. Dan saat itulah mataku menangkap sosok seorang yang sudah sangat kukenal, berjalan ke arahku. Domy. Bukankah dia seharusnya sedang berada di tempat kliennya yang sedang bermasalah Ah, mungkin pekerjaannya lebih cepat selesai. Bagaimanapun ini adalah kebetulan yang menyenangkan bertemu dengannya di sini. Aku tersenyum lebar bersiap menyapanya, saat akhirnya aku tersadar bahwa Domy tidak sendiri. Ada seorang wanita, cantik, bergelayut manja di lengannya. Mereka saling memandang dan tertawa lebar. Senyumku berangsur menghilang. Aku terpaku, tak dapat bergerak dari tempatku berdiri, walau sebenarnya aku ingin segera pergi dari situ sebelum mereka—Domy—melihatku.

Perempuan itu, sepertinya pernah kulihat. Di mana? Aku berusaha mengingat. Mengorek seluruh memoriku. Di mana aku pernah melihat wajah orientalnya yang putih, dengan lipstick merah menyala? Ah, ya! Di friendster. Di friend list Domy. Ya, ya, perempuan itulah yang berhasil membuat Domy jatuh cinta sekaligus patah hati. Perempuan yang selama ini begitu diharapkan oleh Domy. Bukankah perempuan itu sudah mengecewakan Domy? Mengapa sekarang mereka bergandengan dengan begitu mesra? Seharusnya akulah yang sedang menyandarkan setengah berat badanku di tubuh kokoh Domy saat ini. Tapi ternyata perempuan itulah yang sedang berbagi kehangatan tubuh dengannya.

Pandanganku berputar. Perutku terasa seperti diaduk-aduk. Aku ingin muntah. Tapi aku tahu ini hanyalah gejolak perasaan yang tak dapat kutahan. Aku masih tak dapat menggerakkan kakiku sama sekali. Sementara mereka berdua, Domy dan perempuan yang tak pernah mau kuingat namanya itu, berjalan semakin dekat ke arahku. Aku harus pergi. Sebelum mereka melihatku.

Kupaksakan kakiku untuk bergerak. Akhirnya aku mampu melangkah. Tapi kakiku seperti bergerak sendiri tanpa mau mengikuti kehendakku. Kakiku justru bergerak mendekati pasangan yang seperti sedang dimabuk cinta itu. Berdiri tepat di depan mereka. Menikmati wajah kaget Domy. Dan akupun tersenyum manis. Semanis yang diijinkan oleh deburan jantungku.

"Hai," sapaku.
Domy masih membelalak melihatku, sementara senyum di bibir perempuan itu menghilang, melihat ke arahku dan Domy silih berganti.
"Happy early birthday," lanjutku kemudian sambil mengangsurkan buku yang sudah terbungkus rapi kepada Domy. Kemudian dengan langkah pasti aku berlalu. Menahan sakit di ulu hati. Entah apa yang kurasakan. Sakit, bingung, shock, semua bercampur menjadi satu. Aku tidak bisa berpikir jernih. Tidak benar-benar tahu harus berbuat apa. Jadi aku mulai mencari kamar mandi, tempat sampah atau apapun. Aku mau muntah!

Mengingatnya lagi membuat air mataku kembali mengalir. Aku merasa sungguh tak berdaya. Dengan gemetar aku memaksakan tanganku bergerak. Meletakkan rokok di bibirku, dan menghisapnya dalam-dalam. Entah apa yang kurasakan ini. Marah, sakit, sedih, kecewa? Atau campuran dari semuanya? Aku melirik ke arah pintu kamarku. Baru beberapa jam yang lalu Domy mengetuk pintu itu. Aku membukanya dengan wajah sembab. Kurang tidur dan terlalu banyak mengeluarkan air mata.

"Penny, maafin aku," katanya begitu pintu terbuka.
Aku hanya diam. Bahkan tak mempersilahkannya masuk. Aku memandang wajahnya tanpa ekspresi.
"Dia akhirnya mau menerimaku. Dia kangen sama aku, Penny. Dia bahkan bilang kalau dia akhirnya sadar kalau ternyata dia sayang sama aku. Kamu ngerti kan gimana perasaanku ke dia? Come on, Penny. You're my best friend. Kamu seharusnya yang paling ngerti tentang hal ini, dong," jelasnya tanpa melihat ke mataku.

Aku mengerti. Aku hanya merasa tolol karena mengira (berharap?) bahwa rasa itu akan berubah. Bahwa rasa itu sudah berubah dan beralih kepadaku. Seharusnya aku tahu setiap pandangan kosongnya, setiap absennya mendengar apapun yang kukatakan, ketidak fokusannya, ketika sepertinya dia tidak sedang benar-benar berada di sana, itu bukan karena pekerjaan. Bukan karena ada klien besar yang harus dipikirkan. Tapi dia memang masih memikirkan perempuan itu. Mungkin saat itu dia berharap bahwa yang ada disebelahnya adalah perempuan itu. Dan bukan aku. Jadi selama ini dia hanya menganggapku sahabatnya? Sahabat yang bisa ditiduri. Aku hanyalah teman tidurnya. Binatang binal yang memuaskan nafsunya. Seseorang yang selalu ada untuknya tanpa meminta apapun sebagai balasan. Seseorang yang selalu menempatkannya di prioritas nomor satu, tanpa menuntut perlakuan yang sama darinya. Apakah Domy membayangkan perempuan itu setiap kali dia bercinta denganku? Pertanyaan itu terus mengusik benakku. Tapi aku hanya diam. Tak punya tenaga untuk menjawab apapun. Tak ingin menjawab apapun.

"Aku sayang sama kamu, Penny. Tapi kita nggak lebih dari sekedar teman. Teman yang tidur bersama. It's not like we're exclusive or something. Nggak ada status yang jelas di antara kita kecuali sahabat. Itu aja," Domy meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Kita masih berteman kan, Penny?" tanyanya dengan suara memohon.
Perlahan kutarik tanganku dari genggamannya, untuk kemudian menutup pintu kamar tepat di depan hidungnya.

Air mata terus mengalir dari mataku. Badanku kembali berguncang. Aku tahu bahwa aku sudah bertindak bodoh. Terlalu percaya pada hatiku. Disaat seharusnya aku lebih menggunakan otakku. Aku merasa seperti ada sesuatu yang berat menarik isi perutku. Aku menyandarkan badanku di pintu, menahan agar untuk tidak gemetar. Seluruh duniaku runtuh. Perlahan semua warna itu menghilang, meninggalkanku dalam dunia hitam putih yang sudah kukenal. Mempertanyakan karma siapakah ini. Kalau pada akhirnya semua ini harus dirampas dariku, mengapa aku diberi kesempatan untuk mencicipinya? Lebih baik aku tidak pernah merasakannya sama sekali bila akhirnya semua ini harus hilang.

Apa bedanya aku dengan perempuan itu? Aku juga seorang perempuan tolol yang menyerahkan hatinya kepada seorang yang hanya ingin menidurinya.
Kembali terngiang suara Misha.
"Semua hubungan tanpa status itu akan berakhir dengan seseorang tersakiti, Penny. Dan gue nggak mau kalau seseorang itu adalah elo."


(Untuk seorang lelaki yang selama beberapa bulan ini membuat hidupku berwarna. Lelaki di balik sebuah nama. Lelaki yang kucintai.)

Friday, February 23, 2007

Please... kamu harus kuat! Kalau kamu nggak kuat, saya juga akan melemah. Ini bukan waktunya buat kita melemah.

Damn! Saya merasa sama sekali tidak berguna...
Maafkan saya...
:(

Tuesday, February 20, 2007

Ok, saya sudah beberapa kali meng-undo halaman ini. Beberapa kali mengedit, menghapus, menulis kembali, dan masih tidak tahu harus memulai cerita ini dari mana. Pokoknya beberapa hari belakangan adalah hari-hari yang sangat luar biasa. Hari-hari yang tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Begitu banyak pelajaran yang saya ambil dari kejadian2 ini. Bagaimana saya di ajar untuk lebih mensyukuri keadaan saya, kehidupan saya, segala yang saya miliki ataupun tidak miliki. Mengajari bahwa kehadiran seorang teman bisa berarti beribu-ribu kali lipat daripada mata uang manapun. Yeah, walaupun saya sering melontarkan pernyataan, "Uang adalah sumber kebahagiaan! Segala sesuatu itu bermula dari uang. Lo bisa dapatin apapun yang lo mau! Dengan uang, lo bisa beli Teman. Beli Cinta. Beli tampang. Beli apa saja! Gimana nggak bahagia tuh?" Dan orang-orang yang sangat mengenal saya itu tahu bahwa saya hanya setengah bersungguh-sungguh mengucapkannya. Hahaha...

Seorang teman mendapat musibah yang berlapis-lapis. Seperti bawang bombay. Satu lapis di buang, muncul lapis berikutnya. Terus begitu. Dan untuk membuang setiap lapisnya, dibutuhkan effort yang luar biasa. Memeras otak, kantong yang sudah sangat kempes, tenaga, dan tangki bensin mobil seorang teman yang lain. Dan hal ini mengajari saya, semakin tua, semakin kita "memilih" teman-teman yang layak untuk kita. Bukan lagi berbicara tentang teman yang populer (saya tidak pernah bermasalah dengan kepopuleran, sejak SMA). Bukan lagi bicara tentang teman-teman bermobil keren yang bisa dipamerin waktu malem minggu (walaupun teman bermobil will become very handy). Tapi kita sedang bicara tentang kualitas. Teman yang mau repot-repot menelponmu pagi-pagi hanya untuk mengingatkanmu bahwa hari ini mungkin jadi hari besarmu karena ada rapat penting dengan klien. Teman yang tidak keberatan menelpon di siang hari hanya untuk menanyakan apakah kamu sudah makan siang. Teman yang tidak capek-capeknya menanyakan, "how's your day today?" Teman yang akan langsung menelponmu, bahkan di tengah malam buta, ketika dengan bercucuran air mata, kamu meng-sms, "Guys, i need you... I think I'm dying". Teman yang tidak memperdulikan harga diri, mau menceritakan segala kesusahannya padamu. Teman yang mau membuka mulut mereka untuk meminta pertolongan, dan sekaligus percaya bahwa keberadaan kita di sebelahnya saja sudah merupakan pertolongan besar baginya. Teman yang tidak ragu-ragu menegur, bahkan memarahi kita, saat kita melakukan kesalahan dan kebodohan.

Saya keranjingan serial komedi Friends. Dan selalu memimpikan memiliki teman-teman yang seperti itu. Dengan karakter yang berbeda-beda, tapi selalu bisa mengerti satu sama lain. But now, I dont need to look no more. Saya sudah menemukan teman-teman yang saya inginkan itu. Teman-teman yang sudah lulus ujian pertemanan (ok, saya memang punya standart tinggi dalam memilih teman. Bahkan ada tes-tes tertentu yang saya lontarkan, yang mungkin tidak mereka sadari. Dan, ya ok, saya bukan orang yang mudah dekat dengan seseorang, kecuali orang itu benar-benar qualified). Ya, saya memang pemilih and i'm thankful for that. Dengan begitu saya bisa mendapatkan teman yang benar-benar menyayangi saya, dan lebih lagi, sangat saya sayangi.

Jadi, mungkin saya harus merubah pernyataan saya di atas. Kita mungkin bisa saja membeli teman dengan uang. Tapi apakah kita bisa benar-benar mendapatkan teman seperti yang saya sebutkan di atas? Teman yang benar-benar qualified. Tapi, ya, uang itu tetap saja penting, Jendral!!!

(Dedicated to very dearest friends of mine, Neta, Yudi, Anisa, Bintang, Randy dan Rey. Yeah, yeah, gue emang ga kreatif. Cuman mampu mengganti 1 huruf dari nama kalian. Hahahaha... I thank God everyday for giving me you guys. Love you guys. *ok, agak berbeda untuk yang terakhir. Karena orang terakhir itu adalah orang yang saya tiduri, dan kebetulan memang saya jatuh cinta sama dia. Hahahaha...*)

Friday, February 09, 2007

"No, you're not stupid, sweetie. You're just madly in love", kata Yudi sambil terus mengemudikan mobil.

Kami baru saja meninggalkan sebuah warung bubur di daerah Radio Dalam. Aku kembali terdiam. Suara penyiar di radio seperti tidak capek-capeknya menginformasikan letak posko bantuan banjir. Yudi menjemputku sekitar jam 9 tadi. Entah sejak kapan ini mulai jadi kebiasaanku. Pergi malam, hanya untuk mencari makan ataupun segelas frapuccino dingin. Berbicara berjam-jam sambil menikmati hembusan nafas Marlboro. Aku bukan lagi seorang perempuan rumahan seperti yang selalu kubanggakan dulu. Hahaha... Aku berubah jadi perempuan Starbucks Sarinah. Perempuan penjelajah daerah kemang saat weekend. Ini seperti telat puber. Atau puber kedua yang tidak pada waktunya.

"The point is, I need to do whatever it takes to get him out of my head!" kataku tanpa ujung pangkal pada Yudi.
"Yeah, I know, sweetie. Dan itu nggak salah kok. Saat lo ngerasa udah nggak berdaya, kehabisan akal dan capek, lo akan mulai mencari segala pelarian dari hal yang membuat lo capek."
"Ah, I know!" seruku tiba-tiba membuat Yudi menengokkan kepalanya, kaget, ke arahku. "I'm gonna tell him, that I fucked someone last nite, so just leave me alone!" sambungku lagi dengan berapi-api.
Yudi tertawa, lalu menggelengkan kepala. "Dan lo pikir itu bisa menyelesaikan masalah lo?" tanyanya sarkastik.
"Well, seenggaknya it probably will ruin his day," aku nyengir dengan mimik tak bersalah.
"Ah, Penny... Lo cuman nyari perhatian dia aja," Yudi menghela nafas.
"Yeah," sambungku cepat. "Dan itu cara menarik perhatian yang paling bagus kan?"
"That will put you into a very difficult situation, yeah!" Yudi memanggut-manggutkan kepalanya.
"What difficult situation?" tanyaku keras kepala.
"Entahlah..." Yudi membelokkan stirnya menuju ke jalan tempat aku tinggal. "Yang jelas gue nggak ngerasa itu akan ada gunanya buat lo." Aku menghela nafas bersamaan dengan Yudi menginjak rem. Aku masih enggan keluar dari mobil kecil mungilnya ini.
"So, now go get some sleep. Istirahat. Besok cari aquarium or something," katanya sambil membuka kunci sentral.
"Hah?" aku melongo. "Buat apa?" tanyaku kemudian.
"Supaya lo ga cepet jadi psychopath yang keliling kemana-mana, mencari perut untuk dibedah, atau otak untuk di goreng," jawabnya garing.
Aku tertawa. "Or might as well, gue jalan aja ke jalan situ," aku menunjuk ke arah jalan yang kumaksud. "Mencari si Pria-Dari-Masa-Lalu, and having a rebound sex! Kali ini beneran having sex. Dan bukan cuman membuatnya gantung ga jelas gitu. Hahaha..." Aku tertawa.
"Oh, jadi lelaki yang sudah lo rusak harinya itu tinggal nggak jauh dari lo?" tanya Yudi.
"Yeap, A only-100-yards-ready-to-use Rebound Sex. Yummy bukan?"
"Geblek!" maki Yudi tertawa. "Gue bisa ngebayangin tampangnya semalem. Pasti sangat tolol. Dan besar kemungkinannya, dia mengutuk elo dalam hati!"
"Yes! Tampangnya antara mau marah tapi gengsi. Antara harga diri dan hasrat yang menggantung! Hahahaha..." aku tertawa terbahak-bahak.
"Kamu bisa dikutuk di neraka, Penny!"
Kami tertawa bersama.
"Ya sudah sana, istirahat, dan jangan main-main ke jalan delapan itu lagi yah," ujar Yudi lembut sambil memegang bahuku.
"Ok. Thanks for supper, Yud. And the chitchat, and everything," kataku sambil membuka pintu mobil.
"Anytime, dear. Just one more thing," Yudi menangkap pergelangan tanganku tepat saat aku mulai menarik badanku keluar dari mobil. "Don't use your head too much. After all, you're a woman. You should listen to your heart sometimes. Ketakutan lo itu wajar. Lo khawatir dia akan tertarik ama temen lo. Tapi, inget! Ketakutan itu bukan berarti suatu kebenaran. Ok?" katanya tegas memandang ke dalam mataku. "Dan menggunakan otak lo terlalu banyak, itu hanya akan menciptakan segala macam probabilitas. Terlalu banyak probabilitas yang akhirnya membuat elo pusing sendiri. Gue tau lo cuman mencoba untuk mencegah siapa saja menyakiti elo. Tapi gimanapun, lo tetep aja manusia. Punya hati. Dan suatu saat akan ngerasa sakit juga. It takes double effort, you know. Dan itu bikin lo capek. So, kalau memang sakit itu harus dateng, ya terima aja. Terima dengan lapang dada, then let it go. Isn't it easier that way? Dan ya, ketakutan lo itu bisa jadi sebuah lonceng tanda bahaya buat lo. Tapi bukan berarti suatu hal yang sudah pasti akan terjadi," lanjutnya lagi sambil tersenyum sabar ke arahku.

Aku menyunggingkan senyum tanda terima kasih pada Yudi. Inilah mengapa aku selalu merasa bisa bercerita apa saja padanya. Yudi selalu bisa menguatkan segala pikiranku. Memberi saran yang bisa diterima oleh otakku. Tidak selalu kulakukan, tapi itu tak membuatnya capek memberi saran apapun untukku.

"C'mon, Yud, don't be so wise larr... Ntar lo gue pacarin lhoh!" ancamku menggodanya.
"Oh tidak! Oom memang tau yang perempuan mau. Oom juga tahu apa yang diinginkan lelaki." Yudi memberikan tampang Oom2-gay-berHIV-positif-nya itu padaku.
"Najis!" seruku sambil menutup pintu mobil. Yudi menurunkan kaca mobil. "Bobo yah, sweetie," katanya kemudian.
"Ok. Thanks yah, Yud," kataku sambil melambai ke arahnya yang mulai memundurkan mobilnya. "Dan jangan nonton D'Bijis tanpa gue!!" teriakku kemudian.
Yudi hanya mengeluarkan tangannya dari kaca mobil, melambai ke arahku kemudian menghilang di belokkan jalan.

Tuesday, January 09, 2007

Beberapa hari belakangan ini saya belajar banyak dari kehidupan di kantor.

1. Banyak tersenyum membuat segala pekerjaan jadi lebih mudah. Tidak saja membuat moodmu tetap ada di atas, tapi juga akan ada lebih banyak orang yang mau membantumu.

2. Nggak ada salahnya sekali-kali ngomong dengan nada yang sangat manja pada satpam. Apalagi kalau kamu butuh dicarikan taksi (harus Blue Bird), malem2.

3. Merencanakan pakaian semalam sebelumnya. Penampilan chic dan fashionable membuat semua orang berlomba2 ingin membantu mengangkat barang2mu, mengantarkanmu kemana2, nawarin rokok gratis, nawarin bawain berkas setumpuk, etc etc.

4. Minum kopi setiap hari selama seminggu membuat kamu jadi ketagihan kopi dan migrain kalau belum minum kopi. So this is not good. Harus segera dihentikan.

5. Ketika pengen minum Frapucino Java Chips-nya starbucks, malah nggak ada yang mau nemenin kamu ke starbucks. Tapi ketika kamu membenci starbucks dari sumsum tulang yang paling dalem, semua orang seperti berlomba2 ngajakin ke starbucks.

6. Memakai sepatu/stileto dengan hak minumal 7cm setiap hari selama seminggu, menyebabkan kesemutan yang berkepanjangan.

7. Membuat kopi yang enak, kunci disayang atasan.

8. ML semalem 3 kali, membuatmu ngantuk terus2an di kantor. Tapi tentunya tak bisa dipungkiri, biar ngantuk kamu akan merasa puas, bahagia dan segar. Lagipula, sex adalah obat flu paling mujarab. Jadi begitu dirasa akan kena flu, segeralah get laid. Flu hilang, hati senang.

Selamat malam. :)