Sunday, February 25, 2007

Sudah hampir dua jam aku duduk di depan jendela kamar kosku. Memandang keluar jendela tanpa benar-benar melihat apapun. Hujan yang tadi turun dengan derasnya sudah sempat berhenti dan berganti dengan gerimis kecil-kecil. Bukan suasana yang menyenangkan. Aku merapatkan pashmina yang sedari tadi menyelimuti bagian atas tubuhku. Matahari yang sedari tadi tertutup awanpun sekarang sudah mulai menghilang di peraduan. Langit mulai gelap. Dan lampu-lampu kota di kejauhan satu persatu mulai menyala.

Aku melirik jam dinding di atas meja komputerku. Sudah pukul enam lewat lima belas menit. Kembali aku melemparkan pandanganku ke arah lampu kota yang terlihat bagaikan lautan berlian berwarna-warni. Satu-satunya alasan mengapa aku memilih tempat ini menjadi tempat tinggalku. Pemandangan seperti ini selalu bisa membuatku tenang walaupun sedikit terasing.

Aku menyesap kopi yang sudah mulai dingin, kemudian menyalakan rokok. Menghisapnya lambat-lambat seakan ingin menikmati setiap miligram nikotin yang masuk ke paru-paruku. Sayup-sayup terdengar Babyface mendendangkan The Loneliness-nya dari winamp playerku.

So tell me how you feel, im lonely
Are you for real, so lonely
Do you still think of me, i think of you
Baby still, You only
Do you dream of me at night
Just like i dream you all the time
Sooo, ooh ooh ooh ooh
oh let me tell you how it feels, its like everyday i die
Wish i was dreaming but its real, when i open up my eyes
oh Let me tell you how it feels, and don't see your pretty face
I think that i will never love again...


Kembali terngiang suara Misha di telingaku.
"Lo gila ya? Lo main api, Penny! Lo bisa kebakar!"
Aku hanya tersenyum waktu itu. "Ayolah, Sha. Apa sih hal paling buruk yang bakal terjadi sama diri gue?" aku menjawab kemudian.
"You could get hurt, Penny!" serunya ngotot.
Aku kembali tersenyum. Meremehkan.
"HTS, TTM, HTI, apapun namanya, nggak akan pernah jadi ide yang bagus menurut gue. Semua itu akan berakhir dengan seseorang tersakiti. And you're my best friend, for God's sake! Gue nggak mau kalo sampe elo yang tersakiti," lanjutnya lagi.
"Gue udah gede, Sha. Gue bisa jaga diri gue sendiri. Lagipula gue sama Domy cuman temenan kok. Sama kayak dulu. Cuma bedanya sekarang kita tidur bareng. Bukan masalah besar," aku berusaha meyakinkan Misha.

Dominic, biasa dipanggil Domy. Awal perkenalanku dengannya terjadi beberapa waktu yang lalu. Diperkenalkan oleh Ambar, salah satu sahabatku yang lain. Dari situ kami mulai sering saling bertelpon, bertukar kabar dan cerita. Sampai sekitar lima bulan yang lalu, kami akhirnya mulai sering bertemu. Makan siang bersama, makan malam atau sekedar nonton film. Kebetulan film kegemaran kami tidak jauh berbeda. Kami sama-sama menyukai film yang berakhir tragis. Lebih realistis menurut kami.

Hubungan kami semakin dekat layaknya dua orang sahabat baik. Aku banyak menceritakan masalah-masalah yang sedang kuhadapi, begitupun Domy. Mulai masalah di kantor, ataupun masalah pribadi. Buatku Domy adalah seorang pendengar yang baik, sekaligus pemberi saran yang jitu. Mungkin karena jalan pikirannya yang logis dan realistis. Hampir sama dengan jalan pikiranku sendiri. Dan sejak saat itu, kami seperti tak terpisahkan. Di mana ada aku, di situ ada Domy.

Banyak di antara teman kami yang mengira ada hubungan spesial antara aku dan Domy. Tapi kami selalu menampiknya dan mengatakan bahwa kami tak lebih dari sepasang teman baik yang menemukan banyak kecocokan satu sama lain.

Kejadian itu terjadi dua bulan kemudian. Kami berdua sedang duduk di atap rumah kosku. Memandangi lampu-lampu kota yang bagaikan hamparan mutiara. Aku menikmati berbatang-batang rokok sementara Domy hanya menikmati secangkir teh tarik panas yang semakin lama semakin dingin diterpa udara Bandung yang semakin malam semakin membuat tubuh menggigil. Ia bercerita tentang seorang wanita yang sudah enam bulan ini dekat dengannya. Betapa ia jatuh hati pada perempuan ini, tapi ternyata cintanya tak terbalas. Perempuan—yang seorang model—itu justru jatuh cinta pada fotografernya sendiri, yang hanya menginginkan tubuhnya untuk ditiduri.
"Nggak rela aja gue. Gue tuh bener-bener sayang sama dia. Bener-bener care. Tapi dia malah menyerahkan hatinya ke cowok yang cuma mau nidurin dia," ujarnya lemah sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. Tampak kelelahan.

Aku diam tak tahu harus menjawab apa. Hanya sesekali tanganku membelai rambutnya. Berusaha membuatnya lebih tenang. Tidak pernah aku melihat seorang Domy, yang selalu penuh gairah, yang selalu berpikir positif, tampak begitu tak berdaya bagaikan seekor anak anjing yang kehilangan induknya. Menggemaskan sekaligus mengundang belas kasihan.

Entah karena cuaca yang begitu dingin malam itu, atau karena kami yang terlalu larut dalam suasana yang sunyi karena hampir seluruh penghuni kosku pulang ke kota mereka masing-masing, akhirnya terjadilah hal itu. Aku terus membelai dan mengusap kepala Domy, sampai akhirnya dia mengangkat wajahnya dan memandang jauh ke dalam mataku. Kemudian Domy mulai menyentuh pipiku, mengusapnya lembut dan menarik kepalaku mendekat ke arahnya. Aku hanya bisa diam mendapati wajah kami yang hanya berjarak beberapa senti, memejamkan mata menikmati aroma nafasnya yang menyegarkan. Kemudian aku merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Begitu lembut, hangat, begitu manis. Perlahan tangan Domy mulai melingkari tubuhku, memelukku erat. Mengusap punggungku, rambutku, pipiku. Sementara bibir kami masih bertaut. Lembut di awal kemudian semakin intens, semakin panas. Akhirnya terjadilah hal itu. Di sana. Di atas atap rumah kosku. Di bawah langit tanpa bintang dengan ribuan lampu kota sebagai saksi. Petama kali kami bercinta dengan begitu lembut sekaligus begitu panas.

Setelah itu kami jadi semakin dekat. Pertemuan yang lebih sering, telpon-telpon di sela-sela jam makan siang, sms-sms yang tak ada hentinya. Pembicaraan-pembicaraan setelah bercinta yang hangat. Saling melempar lelucon sambil berpelukkan. Tapi hanya sampai di situ. Tidak pernah ada pembicaraan tentang status. Dan aku menerima bahwa ini hanyalah sebuah hubungan tanpa status. Seperti lagu dari duo Ratu, TTM, Teman Tapi Mesra. Tapi ini semua membuatku bahagia. Membuatku mempunyai alasan untuk bangun pagi dan pergi ke kantor, karena aku tahu di saat jam makan siang nanti aku akan bertemu Domy. Membuat hidupku lebih berwarna, karena ada seseorang yang bisa kupikirkan.

Suatu malam, tepatnya sebulan yang lalu, kami duduk di dalam mobil Domy yang terparkir di depan rumah kosku. Setelah mematikan mesin, Domy meraih tanganku dan menggenggamnya. Sementara tangan satu lagi memegang pipiku.
"Kamu adalah perempuan paling menarik yang pernah kukenal, Penny. Dan aku sayang sama kamu. Kamu tahu ‘kan?" tanyanya sambil menatapku lekat-lekat.
Aku hanya mengangguk tanpa berani bertanya tentang kejelasan hubungan kami. Merasa ini semua sudah cukup. Aku sayang padanya, dan dia sayang padaku. Sebuah status bukanlah hal yang penting. Toh, kami sudah sama-sama dewasa. Tidak perlu lagi ada pernyataan cinta seperti anak SMU yang baru mulai belajar pacaran.

Hari-hari setelahnya kulewati bagaikan di awang-awang. Bangun pagi, memikirkannya. Perjalanan ke kantor, memikirkannya. Di sela-sela pekerjaanku yang menumpuk, memikirkannya. Hampir setiap waktu memikirkannya. Hanya di waktu ketika kami sedang bersama saja aku bisa berhenti memikirkan dirinya.

Aku bagaikan menemukan sisi yang baru dari seorang Domy. Penuh perhatian dan sangat pengertian. Dia bahkan tidak pernah mengeluh karena lama menungguku berdandan setiap kami akan pergi keluar.
"Ah, Cewek. Dandan lama itu udah biasa," jawabnya sambil tersenyum penuh pengertian setiap kutanya mengapa dia tak pernah keberatan menungguku memulas wajah selama setengah jam.

Domy selalu membuatku merasa aman dan terlindungi. Aku suka dengan perasaan ini. Setelah sekian lama sendiri, aku mulai lupa bagaimana rasanya memiliki seseorang yang perduli padaku. Perduli di mana aku berada, apa yang kulakukan, dengan siapa aku pulang jika waktu sudah beranjak malam. Seorang lelaki yang selalu berjalan di sisi kananku, menjaga agar aku tidak berjalan terlalu ke tengah.
"Dom, aku tuh kalau jalan suka miring-miring. Nggak lurus. Jadi kalau kamu jalan di sebelah kananku, akhirnya nanti kamu bakalan jalan di tengah jalan. Bahaya tau," kataku suatu saat ketika kami berjalan dari kosku menuju warung makan.
"Justru karena itulah aku harus jalan di sebelah kanan kamu. Buat ngejaga supaya jalan kamu nggak miring-miring," jawabnya sambil menggamit pinggangku.

Setiap detik yang kulewati dengannya terasa begitu berarti. Kalau aku boleh meminta satu permintaan saja, aku akan meminta agar waktu berhenti berputar ketika kami sedang saling memeluk, menularkan kehangatan tubuh masing-masing, mencoba melawan dinginnya udara pagi. Dan ketika sudah waktunya untuk kami berpisah, aku setengah mati mencari alasan agar dia tak pergi.
"Kenapa kamu nggak berangkat ke kantor dari sini aja sih? Toh besok pagi kamu juga pasti ngejemput aku dulu," kataku suatu malam sambil menggeser tubuhku merapat ke arahnya. Memainkan jari-jariku di atas perutnya yang mulai menggendut karena sudah beberapa bulan ini tidak menyambangi pusat kebugaran, kemudian bergerak dan menciuminya dengan manja.
Domy mengerang perlahan dan memainkan rambutku dengan jari-jarinya.
"Aku kan nggak bawa baju ngantor, Penny."
"Ugghh... aku nggak pengen kamu pulang," jawabku sambil menyusrukkan kepalaku ke lehernya. "Gimana kalau sekarang aja kita ke rumah kamu, ngambil baju, terus kita balik ke sini, aku bikinin kamu coklat panas, terus kamu boleh bikin yang "panas-panas" buat aku, di sini, di atas ranjang ini," kataku dengan suara menggoda, menggesek-gesekkan kakiku ke kakinya.
Domy tertawa perlahan kemudian membelai pipiku.
"Nggak bisa, Penny. Kamu tahu kan, orang rumah bisa ngomel-ngomel sama aku. Lagian selama weekend ini kan kita udah bareng terus. Masa nggak cukup sih?"
"Nggak! Nggak pernah cukup!" seruku memberengut.
Domy tersenyum. "Ayolah, toh besok kita ketemu lagi. Aku jemput kamu ngantor, terus siangnya kita bisa makan bareng."
Akhirnya dengan terpaksa aku melepasnya pergi.

Mungkinkah aku jatuh cinta? Atau pertanyaannya adalah: Mungkinkah dia jatuh cinta?
Ada saatnya aku menemukan pandangan Domy kosong ke satu titik. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ada saatnya aku merasa Domy tidak benar-benar sedang berada di sana bersamaku. Tubuhnya ada di sebelah kananku, memegang setir mobil, mengendalikannya dengan sangat mahir. Tapi pikirannya, jiwanya, entah ada di mana. Tapi aku selalu berpikir bahwa mungkin dia sedang memikirkan pekerjaannya. Atau salah satu klien besarnya sedang bermasalah. Beberapa kali aku harus mengulang perkataanku sebelum akhirnya Domy jadi kembali terfokus padaku. Tapi aku tak keberatan. Selama dia tetap ada di sana, bersamaku.

Aku kembali menyesap kopiku. Membakar rokokku entah batang yang keberapa. Mataku masih terpaku pada hamparan lampu kota. Kemudian pandanganku semakin lama semakin buram tertutup oleh air yang mulai membasahi mataku. Pelahan air itu mulai turun membasahi pipiku. Semakin lama semakin deras. Dan tubuhku mulai terguncang. Aku tak bisa menahannya. Sekuat apapun aku mencoba.

Hari ini adalah ulang tahun Domy. Aku ingin memberinya hadiah kejutan. Karenanya kemarin sepulang kerja aku langsung menuju ke sebuah pusat perbelanjaan tak jauh dari kantorku. Sebelumnya aku sempat menelepon Domy untuk bertanya apakah dia akan menjemputku seperti kebiasaannya selama sebulan terakhir.
"Aku kayanya nggak bisa jemput kamu deh. Aku harus ke tempat klien. Ada troubleshooting yang harus aku beresin. Klien besar nih," jawab Domy. "Tapi kamu langsung pulang, kan? Jangan sampai kemalaman lho," lanjutnya lagi.
"Iya, aku langsung pulang," jawabku berbohong, tak ingin merusak kejutan yang sedang kurencanakan.

Sesampai di pusat perbelanjaan itu, aku langsung menuju ke sebuah toko buku yang menjadi langgananku. Bukan benar-benar toko buku. Lebih ke seperti butik buku, sesuai dengan namanya "Booktique". Buku-buku yang dijual di butik buku itu kebanyakan tidak dijual di toko buku besar. Bahkan kadang, kalau cukup beruntung, kita bisa menemukan buku-buku cetakan pertama yang sudah sangat jarang ada di pasaran.

Memasuki butik buku itu, aku langsung disambut oleh bunyi denting lonceng dan sapaan selamat sore dari Joe, pemilik butik buku itu sendiri.
"Penny!" seru Joe begitu melihatku. "Nyari apa nih hari ini?"
"Gue pernah ngeliat Justine-nya Marquis de Sade. Masih ada Joe? Buat kado."
"Wah, pasti untuk someone special."
"How do you know?"
"Justine? Marquis de Sade? Hanya orang-orang dengan selera yang sangat freak yang mau baca buku itu. Dan orang yang sangat freak adalah orang-orang yang special buat lo, pastinya," jawabnya sok tahu sambil membalikkan badan menuju ke salah satu rak dibelakang, yang sepertinya sedikit tersembunyi tertutup kaca hingga mencegah debu masuk, dan menarik salah satu buku bersampul kulit berwarna coklat. "Dan yang lebih special lagi, gue punya special edition-nya."
Joe mengangsurkan buku itu padaku. Aku mengelus permukaannya. Kulit yang halus. Membuka setiap beberapa lembaran pertamanya. Membaca beberapa kalimat yang pernah kubaca beberapa waktu yang lalu.
"Mau dibungkus?" tanya Joe mengagetkanku.
"Yap. Thanks."

Keluar dari butik buku itu, aku berjalan ke arah coffee shop terdekat. Berniat mendapatkan sedikit kesenangan buat diriku sendiri. Secangkir caramel latte hangat dan sepotong cheesecake. Dan saat itulah mataku menangkap sosok seorang yang sudah sangat kukenal, berjalan ke arahku. Domy. Bukankah dia seharusnya sedang berada di tempat kliennya yang sedang bermasalah Ah, mungkin pekerjaannya lebih cepat selesai. Bagaimanapun ini adalah kebetulan yang menyenangkan bertemu dengannya di sini. Aku tersenyum lebar bersiap menyapanya, saat akhirnya aku tersadar bahwa Domy tidak sendiri. Ada seorang wanita, cantik, bergelayut manja di lengannya. Mereka saling memandang dan tertawa lebar. Senyumku berangsur menghilang. Aku terpaku, tak dapat bergerak dari tempatku berdiri, walau sebenarnya aku ingin segera pergi dari situ sebelum mereka—Domy—melihatku.

Perempuan itu, sepertinya pernah kulihat. Di mana? Aku berusaha mengingat. Mengorek seluruh memoriku. Di mana aku pernah melihat wajah orientalnya yang putih, dengan lipstick merah menyala? Ah, ya! Di friendster. Di friend list Domy. Ya, ya, perempuan itulah yang berhasil membuat Domy jatuh cinta sekaligus patah hati. Perempuan yang selama ini begitu diharapkan oleh Domy. Bukankah perempuan itu sudah mengecewakan Domy? Mengapa sekarang mereka bergandengan dengan begitu mesra? Seharusnya akulah yang sedang menyandarkan setengah berat badanku di tubuh kokoh Domy saat ini. Tapi ternyata perempuan itulah yang sedang berbagi kehangatan tubuh dengannya.

Pandanganku berputar. Perutku terasa seperti diaduk-aduk. Aku ingin muntah. Tapi aku tahu ini hanyalah gejolak perasaan yang tak dapat kutahan. Aku masih tak dapat menggerakkan kakiku sama sekali. Sementara mereka berdua, Domy dan perempuan yang tak pernah mau kuingat namanya itu, berjalan semakin dekat ke arahku. Aku harus pergi. Sebelum mereka melihatku.

Kupaksakan kakiku untuk bergerak. Akhirnya aku mampu melangkah. Tapi kakiku seperti bergerak sendiri tanpa mau mengikuti kehendakku. Kakiku justru bergerak mendekati pasangan yang seperti sedang dimabuk cinta itu. Berdiri tepat di depan mereka. Menikmati wajah kaget Domy. Dan akupun tersenyum manis. Semanis yang diijinkan oleh deburan jantungku.

"Hai," sapaku.
Domy masih membelalak melihatku, sementara senyum di bibir perempuan itu menghilang, melihat ke arahku dan Domy silih berganti.
"Happy early birthday," lanjutku kemudian sambil mengangsurkan buku yang sudah terbungkus rapi kepada Domy. Kemudian dengan langkah pasti aku berlalu. Menahan sakit di ulu hati. Entah apa yang kurasakan. Sakit, bingung, shock, semua bercampur menjadi satu. Aku tidak bisa berpikir jernih. Tidak benar-benar tahu harus berbuat apa. Jadi aku mulai mencari kamar mandi, tempat sampah atau apapun. Aku mau muntah!

Mengingatnya lagi membuat air mataku kembali mengalir. Aku merasa sungguh tak berdaya. Dengan gemetar aku memaksakan tanganku bergerak. Meletakkan rokok di bibirku, dan menghisapnya dalam-dalam. Entah apa yang kurasakan ini. Marah, sakit, sedih, kecewa? Atau campuran dari semuanya? Aku melirik ke arah pintu kamarku. Baru beberapa jam yang lalu Domy mengetuk pintu itu. Aku membukanya dengan wajah sembab. Kurang tidur dan terlalu banyak mengeluarkan air mata.

"Penny, maafin aku," katanya begitu pintu terbuka.
Aku hanya diam. Bahkan tak mempersilahkannya masuk. Aku memandang wajahnya tanpa ekspresi.
"Dia akhirnya mau menerimaku. Dia kangen sama aku, Penny. Dia bahkan bilang kalau dia akhirnya sadar kalau ternyata dia sayang sama aku. Kamu ngerti kan gimana perasaanku ke dia? Come on, Penny. You're my best friend. Kamu seharusnya yang paling ngerti tentang hal ini, dong," jelasnya tanpa melihat ke mataku.

Aku mengerti. Aku hanya merasa tolol karena mengira (berharap?) bahwa rasa itu akan berubah. Bahwa rasa itu sudah berubah dan beralih kepadaku. Seharusnya aku tahu setiap pandangan kosongnya, setiap absennya mendengar apapun yang kukatakan, ketidak fokusannya, ketika sepertinya dia tidak sedang benar-benar berada di sana, itu bukan karena pekerjaan. Bukan karena ada klien besar yang harus dipikirkan. Tapi dia memang masih memikirkan perempuan itu. Mungkin saat itu dia berharap bahwa yang ada disebelahnya adalah perempuan itu. Dan bukan aku. Jadi selama ini dia hanya menganggapku sahabatnya? Sahabat yang bisa ditiduri. Aku hanyalah teman tidurnya. Binatang binal yang memuaskan nafsunya. Seseorang yang selalu ada untuknya tanpa meminta apapun sebagai balasan. Seseorang yang selalu menempatkannya di prioritas nomor satu, tanpa menuntut perlakuan yang sama darinya. Apakah Domy membayangkan perempuan itu setiap kali dia bercinta denganku? Pertanyaan itu terus mengusik benakku. Tapi aku hanya diam. Tak punya tenaga untuk menjawab apapun. Tak ingin menjawab apapun.

"Aku sayang sama kamu, Penny. Tapi kita nggak lebih dari sekedar teman. Teman yang tidur bersama. It's not like we're exclusive or something. Nggak ada status yang jelas di antara kita kecuali sahabat. Itu aja," Domy meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Kita masih berteman kan, Penny?" tanyanya dengan suara memohon.
Perlahan kutarik tanganku dari genggamannya, untuk kemudian menutup pintu kamar tepat di depan hidungnya.

Air mata terus mengalir dari mataku. Badanku kembali berguncang. Aku tahu bahwa aku sudah bertindak bodoh. Terlalu percaya pada hatiku. Disaat seharusnya aku lebih menggunakan otakku. Aku merasa seperti ada sesuatu yang berat menarik isi perutku. Aku menyandarkan badanku di pintu, menahan agar untuk tidak gemetar. Seluruh duniaku runtuh. Perlahan semua warna itu menghilang, meninggalkanku dalam dunia hitam putih yang sudah kukenal. Mempertanyakan karma siapakah ini. Kalau pada akhirnya semua ini harus dirampas dariku, mengapa aku diberi kesempatan untuk mencicipinya? Lebih baik aku tidak pernah merasakannya sama sekali bila akhirnya semua ini harus hilang.

Apa bedanya aku dengan perempuan itu? Aku juga seorang perempuan tolol yang menyerahkan hatinya kepada seorang yang hanya ingin menidurinya.
Kembali terngiang suara Misha.
"Semua hubungan tanpa status itu akan berakhir dengan seseorang tersakiti, Penny. Dan gue nggak mau kalau seseorang itu adalah elo."


(Untuk seorang lelaki yang selama beberapa bulan ini membuat hidupku berwarna. Lelaki di balik sebuah nama. Lelaki yang kucintai.)

No comments: