Friday, February 09, 2007

"No, you're not stupid, sweetie. You're just madly in love", kata Yudi sambil terus mengemudikan mobil.

Kami baru saja meninggalkan sebuah warung bubur di daerah Radio Dalam. Aku kembali terdiam. Suara penyiar di radio seperti tidak capek-capeknya menginformasikan letak posko bantuan banjir. Yudi menjemputku sekitar jam 9 tadi. Entah sejak kapan ini mulai jadi kebiasaanku. Pergi malam, hanya untuk mencari makan ataupun segelas frapuccino dingin. Berbicara berjam-jam sambil menikmati hembusan nafas Marlboro. Aku bukan lagi seorang perempuan rumahan seperti yang selalu kubanggakan dulu. Hahaha... Aku berubah jadi perempuan Starbucks Sarinah. Perempuan penjelajah daerah kemang saat weekend. Ini seperti telat puber. Atau puber kedua yang tidak pada waktunya.

"The point is, I need to do whatever it takes to get him out of my head!" kataku tanpa ujung pangkal pada Yudi.
"Yeah, I know, sweetie. Dan itu nggak salah kok. Saat lo ngerasa udah nggak berdaya, kehabisan akal dan capek, lo akan mulai mencari segala pelarian dari hal yang membuat lo capek."
"Ah, I know!" seruku tiba-tiba membuat Yudi menengokkan kepalanya, kaget, ke arahku. "I'm gonna tell him, that I fucked someone last nite, so just leave me alone!" sambungku lagi dengan berapi-api.
Yudi tertawa, lalu menggelengkan kepala. "Dan lo pikir itu bisa menyelesaikan masalah lo?" tanyanya sarkastik.
"Well, seenggaknya it probably will ruin his day," aku nyengir dengan mimik tak bersalah.
"Ah, Penny... Lo cuman nyari perhatian dia aja," Yudi menghela nafas.
"Yeah," sambungku cepat. "Dan itu cara menarik perhatian yang paling bagus kan?"
"That will put you into a very difficult situation, yeah!" Yudi memanggut-manggutkan kepalanya.
"What difficult situation?" tanyaku keras kepala.
"Entahlah..." Yudi membelokkan stirnya menuju ke jalan tempat aku tinggal. "Yang jelas gue nggak ngerasa itu akan ada gunanya buat lo." Aku menghela nafas bersamaan dengan Yudi menginjak rem. Aku masih enggan keluar dari mobil kecil mungilnya ini.
"So, now go get some sleep. Istirahat. Besok cari aquarium or something," katanya sambil membuka kunci sentral.
"Hah?" aku melongo. "Buat apa?" tanyaku kemudian.
"Supaya lo ga cepet jadi psychopath yang keliling kemana-mana, mencari perut untuk dibedah, atau otak untuk di goreng," jawabnya garing.
Aku tertawa. "Or might as well, gue jalan aja ke jalan situ," aku menunjuk ke arah jalan yang kumaksud. "Mencari si Pria-Dari-Masa-Lalu, and having a rebound sex! Kali ini beneran having sex. Dan bukan cuman membuatnya gantung ga jelas gitu. Hahaha..." Aku tertawa.
"Oh, jadi lelaki yang sudah lo rusak harinya itu tinggal nggak jauh dari lo?" tanya Yudi.
"Yeap, A only-100-yards-ready-to-use Rebound Sex. Yummy bukan?"
"Geblek!" maki Yudi tertawa. "Gue bisa ngebayangin tampangnya semalem. Pasti sangat tolol. Dan besar kemungkinannya, dia mengutuk elo dalam hati!"
"Yes! Tampangnya antara mau marah tapi gengsi. Antara harga diri dan hasrat yang menggantung! Hahahaha..." aku tertawa terbahak-bahak.
"Kamu bisa dikutuk di neraka, Penny!"
Kami tertawa bersama.
"Ya sudah sana, istirahat, dan jangan main-main ke jalan delapan itu lagi yah," ujar Yudi lembut sambil memegang bahuku.
"Ok. Thanks for supper, Yud. And the chitchat, and everything," kataku sambil membuka pintu mobil.
"Anytime, dear. Just one more thing," Yudi menangkap pergelangan tanganku tepat saat aku mulai menarik badanku keluar dari mobil. "Don't use your head too much. After all, you're a woman. You should listen to your heart sometimes. Ketakutan lo itu wajar. Lo khawatir dia akan tertarik ama temen lo. Tapi, inget! Ketakutan itu bukan berarti suatu kebenaran. Ok?" katanya tegas memandang ke dalam mataku. "Dan menggunakan otak lo terlalu banyak, itu hanya akan menciptakan segala macam probabilitas. Terlalu banyak probabilitas yang akhirnya membuat elo pusing sendiri. Gue tau lo cuman mencoba untuk mencegah siapa saja menyakiti elo. Tapi gimanapun, lo tetep aja manusia. Punya hati. Dan suatu saat akan ngerasa sakit juga. It takes double effort, you know. Dan itu bikin lo capek. So, kalau memang sakit itu harus dateng, ya terima aja. Terima dengan lapang dada, then let it go. Isn't it easier that way? Dan ya, ketakutan lo itu bisa jadi sebuah lonceng tanda bahaya buat lo. Tapi bukan berarti suatu hal yang sudah pasti akan terjadi," lanjutnya lagi sambil tersenyum sabar ke arahku.

Aku menyunggingkan senyum tanda terima kasih pada Yudi. Inilah mengapa aku selalu merasa bisa bercerita apa saja padanya. Yudi selalu bisa menguatkan segala pikiranku. Memberi saran yang bisa diterima oleh otakku. Tidak selalu kulakukan, tapi itu tak membuatnya capek memberi saran apapun untukku.

"C'mon, Yud, don't be so wise larr... Ntar lo gue pacarin lhoh!" ancamku menggodanya.
"Oh tidak! Oom memang tau yang perempuan mau. Oom juga tahu apa yang diinginkan lelaki." Yudi memberikan tampang Oom2-gay-berHIV-positif-nya itu padaku.
"Najis!" seruku sambil menutup pintu mobil. Yudi menurunkan kaca mobil. "Bobo yah, sweetie," katanya kemudian.
"Ok. Thanks yah, Yud," kataku sambil melambai ke arahnya yang mulai memundurkan mobilnya. "Dan jangan nonton D'Bijis tanpa gue!!" teriakku kemudian.
Yudi hanya mengeluarkan tangannya dari kaca mobil, melambai ke arahku kemudian menghilang di belokkan jalan.

No comments: